Membaca buku seringkali dianggap sebagai aktivitas yang membawa manfaat luar biasa, dari memperluas pengetahuan hingga memperkaya perspektif. Namun, dalam konteks sosial dan ekonomi saat ini, muncul pertanyaan penting: Apakah membaca buku itu privilege (hak istimewa) atau kebutuhan? Bagi sebagian orang, buku adalah jendela dunia yang memungkinkan mereka memahami lebih banyak tentang berbagai topik, budaya, dan ide. Namun, bagi yang lain, akses terhadap buku bisa jadi sebuah kemewahan yang sulit dijangkau karena faktor ekonomi, pendidikan, atau bahkan lokasi geografis.
Dalam banyak masyarakat, terutama di negara-negara berkembang, membaca buku bisa dianggap sebagai privilege. Bukan karena ketidakmampuan untuk membaca, tetapi karena buku dan akses ke literasi berkualitas seringkali terbatas. Bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan, membeli buku atau bahkan memiliki akses ke perpustakaan yang lengkap bisa menjadi hal yang sulit diwujudkan. Dalam konteks ini, membaca buku bukanlah kebutuhan yang dapat dipenuhi dengan mudah, melainkan sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses lebih—baik itu akses ke pendidikan, sumber daya, atau bahkan waktu luang yang cukup untuk meluangkan waktu membaca.
Namun, di sisi lain, membaca buku seharusnya dilihat sebagai kebutuhan dasar. Literasi adalah kunci untuk mengakses pengetahuan yang membuka berbagai pintu peluang dalam kehidupan. Buku menyediakan berbagai informasi, baik itu terkait ilmu pengetahuan, sejarah, budaya, atau bahkan keterampilan praktis yang dapat membantu individu mengembangkan diri dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Di dunia yang semakin mengutamakan keterampilan digital dan kecerdasan emosional, kemampuan untuk memahami dan menyerap informasi melalui buku menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa diabaikan. Buku memberikan bekal bagi individu untuk menghadapi tantangan zaman, memperluas wawasan, dan membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia di sekitar mereka.
Sebagai masyarakat, kita perlu memastikan bahwa literasi bukanlah sesuatu yang terbatas hanya untuk kalangan tertentu. Akses ke buku mimpi dan materi bacaan harus dilihat sebagai bagian dari hak dasar setiap orang. Inisiatif untuk menyediakan buku-buku gratis, memperbaiki fasilitas perpustakaan, dan menggalakkan budaya membaca sejak dini dapat membantu menurunkan kesenjangan dalam akses literasi. Ketika membaca buku bukan lagi menjadi privilege, tetapi kebutuhan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, kita akan menciptakan generasi yang lebih terdidik, lebih empatik, dan lebih siap menghadapi tantangan global.